SONGFICT: LARA - DIALOG SENJA
Bandung, 29 Januari 2020, 16.37 PM.
Sore ini, cuaca kota kembang sedang ‘tak bersahabat. Sedari tadi banyak orang yang berlalu lalang sambil kebingungan, diikuti dengan hembusan angin yang membawa dedaunan terbang ke udara. Aku tidak memperdulikannya dan tetap berjalan. Aku sendiri juga kurang tahu kemana arahku saat ini, aku hanya terus berjalanan ‘tuk melepaskan rasa penat sembari mengelilingi kota Bandung yang hawanya dingin saat ini.
Aku memutuskan untuk mampir sejenak ke salah satu taman yang ada di daerah tersebut. Taman ini tidak terlalu ramai, bahkan dapat dikatakan sepi. Dan sepertinya nyaman. Aku kurang tahu lebih tentang taman ini, karena aku jarang berada di daerah tersebut. Aku berjalan dan duduk di kursi taman yang menghadap ke arah sungai.
“Vazeya?” Sebuah suara berhasil memecahkan lamunanku sore ini.
“Zeya, bener itu kamu?” Suara itu kembali muncul, membuatku semakin kebingungan. Aku pun memutuskan untuk membalik badan, dan apa yang aku lihat. Aku sungguh tidak dapat mempercayainya.
“Kamu, Ardan?”
“Iya bener. Ini aku Ardan, masih inget kan Ze?” Aku terdiam dan masih ‘tak dapat mempercayai hal ini. Seketika kenangan-kenangan dan memori saat bersamanya dulu kini berputar lagi dalam ingatanku. Aku bingung harus meresponnya dengan bagaimana, karena terakhir kali aku bertemu dengannya, ia membuatku seolah-olah tidak dapat berbicara kepada laki-laki lain selain dia.
“Ze, kok diem? Aku duduk sini, ya?”
“Ah iya boleh, duduk aja,” ujarku sambil membenarkan posisi rambut. Ia pun duduk di sebelahku saat ini, tidak berjarak terlalu dekat juga. Rasa yang ada di dalam hatiku saat ini bercampur aduk, antara senang dan kecewa. Senang karena bisa bertemu dengannya kembali namun dalam kondisi perasaan yang mulai mati, dan kecewa karena ia datang kembali dengan luka yang masih membekas di hatiku.
“Maaf ya buat yang dulu, Ze. Aku bener-bener nggak tahu kalau kamu beneran naruh rasa ke aku dulu. Tapi nggak buruk sih, karena dulu aku juga suka sama kamu, hehe.” Aku hanya tersenyum dan membatin dalam hati, sepertinya anak ini terlalu percaya diri.
“Zeya, rasanya aku pengen banget muter waktu lagi kayak dulu. Aku nggak pernah nemu orang yang bener-bener peduli banget sama hidupku kayak kamu. Bagiku, kamu anugerah terindah yang Tuhan kasih ke aku. Tapi apa boleh buat, kayaknya nggak akan bisa balik lagi deh,” ucapnya kembali dengan sangat lembut.
“Maaf ya Ze, aku selalu bikin kamu sakit hati. Bahkan kayaknya sekarang juga, kan?”
“Eh enggak kok Ardan, aku nggak papa. Lagian udah beberapa tahun yang lalu, kan?” Tanyaku dengan nada yang tidak dapat dijelaskan, seperti tertawa namun juga seperti ingin menangis.
“Aku harap kamu bahagia ya Ze. Aku pengen lihat orang yang aku cintai bahagia terus selamanya, walau itu bukan bahagia karenaku. Kamu cantik, baik hati, kamu seorang gadis yang kuat,” ucapnya kembali dengan nada yang sangat halus. Bukannya senang diucapkan seperti itu, justru aku malah menitihkan air mata, ‘tak seperti kebanyakan perempuan biasanya yang hatinya langsung berbunga-bunga.
Aku sadar, aku sangat bodoh dulu. Sungguh, sangat memalukan jika diingat-ingat. Kalau kata anak muda jaman sekarang, alay. Bagaimana tidak, modelku saat menjalin cinta dengannya dirasa nggak banget. Tapi aku tetap merasa bahwa diriku yang dulu lebih bahagia dengannya. Ya setidaknya aku masih memiliki tempat sandaran untuk menceritakan hari-hari pahitku. Ah, rasanya aku ingin mengulang semuanya.
“Zeya, udah jangan nangis. Aku minta maaf ya.” Lamunanku kembali terpecahkan untuk yang kesekian kalinya oleh dia. Aku memang bingung harus meresponnya dengan bagaimana, karena mulutku saat ini seolah seperti dibungkam oleh masa lalu.
Akhirnya untuk waktu yang 'tak terlalu lama, aku memberanikan diri untuk meresponnya kembali. “Saat semuanya sudah pergi, dan sudah damai, bayanganmu mulai kembali mengisi. Sejujurnya, aku bingung maumu apa, tapi saat ini kamu seolah-olah ingin mengungkit kembali dan bersatu namun kenyataannya hal itu nggak akan pernah bisa.”
“Ardan Erlando, aku sudah memaafkanmu, bahkan sejak jaman dulu sebelum kamu sendiri yang megucapkannya. Aku sudah memaafkannya semua karena aku rasa ya memang aku harus memaafkannya. Sebesar apapun dan sejahat apapun yang kamu lakukan, aku nggak punya hak buat nggak maafin kamu, kan? Tuhan aja maha pemaaf, masa hambanya nggak?" Tuturku kembali, dan saat ini, air mataku benar-benar sudah deras membanjiri pipi sebelah kananku.
“Aku menyesal, aku minta maaf bang-"
“Nggak perlu disesali, Dan. Semuanya sudah terlanjur, dan aku rasa kamu nggak perlu menyesal dan membuang kata-kata mu hanya karena ini." Aku menyeka air mataku dan berusaha untuk terlihat baik-baik saja.
Aku menatapnya, dan dia juga menatapku. Aku memperhatikan surai kecokelatan miliknya yang sangat indah, dan bola mata hitam pekatnya yang sangat cantik menurutku. Aku merasakan bahwa tatapannya benar-benar dalam dan menusuk, yang meninggalkan bekas lara dihati. Langit sudah mulai menggelap, dan burung-burung berterbangan dari arah barat, menandakan bahwa malam sudah mulai dekat.
“Ze, kalau kamu mau, maukah kamu memperbaiki semuanya dan menciptakan buku harian baru?" Ujarnya yang berhasil membuat bulu kudukku berdiri. Bukan karena apa, aku hanya kaget dan shok akibat perkataannya tadi. Aku tidak dapat mempercayainya. Otak mengatakan bahwa aku harus menerima permintaannya, namun hatiku berkata sebaliknya.
“Iya, aku mau, ayo.” Satu kata yang berhasil keluar dari mulutku, yang aku ucapkan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu. Aku melihat raut mukanya yang sebelumnya kebingungan berubah menjadi ceria. Namun aku tidak dapat bahagia terlebih dahulu, karena aku menyadari sesuatu. Ini semua terlalu pedih jika dibayangkan.
Aku menatapnya dengan dalam, dan berusaha untuk memegang tangannya, walau sepertinya sangat susah untuk dilakukan. Samar-samar, badannya semakin lama semakin memudar dengan sangat perlahan. Aku melihatnya tersenyum kearahku, senyuman paling indah dan juga paling menyakitkan.
“Aku mencintaimu, sampai bertemu di keabadian, Zeya.”
Dan akhirnya, ia benar-benar menghilang dariku. Bau parfumnya pun yang sedari tadi sangat menusuk pun seketika tidak tercium. Aku terdiam mematung, merasakan bahwa ini sungguh sangat indah jika dirasakan, namun dia tidak nyata. Masih banyak harapan yang ingin aku wujudkan bersamanya, namun tetap saja, takdir mengatakan yang lain. Sampai setelah beberapa menit aku tersadar, Ardan sudah dua tahun yang lalu meninggalkan dunia ini.
Komentar
Posting Komentar